Pages

Minggu, 23 Agustus 2015

Tak Terucap

   Febe (XII-Boom/31)

         Kring... Kring... Kring... Jam weker berbunyi seakan tak membiarkan Nina tertidur lebih lama lagi hari ini. Iya, hari ini... Hari ini adalah hari yang dinanti - nantikan olehnya. Hari dimana masa penantiannya akan berakhir. Mendengar suara dering, Nina pun mengambil jam weker tersebut dan melihatnya. Matanya membelalak, dia sontak berdiri.
"Yaampuuun, kenapa kesiangan? Duh, mana bisa sampe' stasiun cuman 15 menit. Ah, payah." Gerutu pada dirinya sendiri.
Dengan terburu - buru, dia mandi. Sebelumnya, Nina tak pernah bangun sesiang ini. Tak ada alasan lain, semalam dia mempersiapkan diri untuk hari ini. Hari dimana dia berharap akan menjadi hari terindah dalam hidupnya. Karena persiapan untuk hari ini sudah dilakukan sejak seminggu yang lalu, tak butuh waktu lama untuk memilih baju dan keperluan lainnya. Dia rapikan rambutnya. Lalu bergegas, dia pakai flat shoes kesukaannya. Yang menambah, kesan anggun pada dirinya.
Tuhan, aku sudah tidak sabar...  Dengan penuh keyakinan dia langkahkan kakinya.
"Ibu, Nina berangkat yaa. Mau jemput Arman di stasiun." Teriak Nina sambil terus melangkah maju menuju halaman rumah.
Sudah sekitar tiga tahun, dia menunggu sosok itu. Bagi kebanyakkan orang, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Iya. Bukan waktu yang singkat, apalagi dalam hal tunggu-menunggu. Ah, lama sekali. Tapi tidak bagi Nina. Baginya, menunggu adalah hal yang wajar saat seseorang menginginkan semua akan indah pada waktunya. Keyakinan seperti itulah yang membuat Nina masih bertahan, walau dia tahu tak semudah itu bertahan.
Anginnya cukup kuat, badai dimana-mana, karang terus saja menghadang. Seakan tak tahu betapa sakitnya bertahan, betapa lelahnya menunggu. Namun, walau dia tahu itu semua, hatinya tetap saja memilih untuk tetap bertahan. Bertahan pada seseorang yang tidak dia sangka mampu luluhkan hatinya. Seseorang yang tidak pernah dia yakini kepadanyalah dia akan jatuh cinta, akan benar – benar sejatuh ini. Nina selalu merasa, dia terlambat menyadari rasa ini. Terlambat menyadari bahwa sosok itulah yang menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
Nina ingat betul kala itu, kebersamaan bersama sahabatnya. Walaupun ada beda, ada ragu. Tapi tetap saja saling berbagi, saling mengerti, saling memahami, saling memuji itu terlaksana, tanpa komando. Arman adalah sosok itu. Pria yang selalu dia tunggu. Pria yang tak pernah mengeluh saat dia menceritakan semua kepenatan. Pria yang selalu mendengarkan hal - hal konyol yang dilakukannya. Pria yang menjadi penompang agar dia tetap berdiri. Pria yang selalu percaya pada semua mimpi – mimpi Nina. Pria yang tak pernah berpikir panjang untuk mengiyakan keinginannya. Pria yang tidak pernah lelah membuatnya tersenyum.

Sesampai Nina di stasiun, dia langsung memarkirkan motornya. Setelah itu, tanpa pikir panjang, dia berlari walau terdesak banyak orang yang lalu lalang. Ada yang keluar stasiun, ada yang masuk stasiun. Berkali - kali, dia menabrak orang di sekitar stasiun, dan hanya ucapan maaf yang dia lontarkan.
Hatinya menggebuh - gebuh.
Ibarat tanggul, hatinya sudah siap untuk jebol.
Dag – dig – dug – diaaaaaaaar...
Di tempat ini, iya tempat ini. Stasiun ini, adalah saksi bisu perpisahan Nina dan Arman. Sejak Arman tahu bahwa dirinya mendapat beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Arman memutuskan untuk mengambil tawaran itu menetap di Surabaya untuk beberapa waktu guna melancarkan kuliahnya. Dan sekarang Nina berdiri di tempat yang sama, di titik yang sama dimana genggaman tangannya dan tangan Arman terlepas.
"Na, 3 tahun lagi aku pasti balik dari Surabaya. Nanti kita belajar bareng lagi. Tunggu aku ya. Pokoknya waktu aku balik, aku mau, kamu jadi orang pertama yang nyambut kedatanganku. Jangan lupa fokus sekolah, bahagiain ayah sama ibumu." Kata Arman lembut sambil membelai rambut Nina. Kalimat inilah yang selalu terngiang dalam pikiran Nina.
          Setelah beberapa lama mencari – cari...

Ini Arman mana ya? Apa aku telat? Apa jangan – jangan dia udah di rumah? Ah, tapi keretanya baru datang dua menit yang lalu kok. Duh, gimana? Gerutu Nina dalam hati.

Karena mencari - cari keberadaan Arman yang masih belum dia temukan, dia terus berjalan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, pandangannya sama sekali tidak fokus. Hingga akhirnya, batu membuat dia terjatuh dan tubuhnya terbentur tubuh seseorang.
Bruuuuuuuk...
Tubuh Nina tersungkur hingga ke tanah, dia melihat ada seseorang di depannya, tidak lain tidak bukan adalah seseorang yang ditabraknya tadi. Orang itu menggunakan sepatu berwarna hitam, celana jeans berwarna hitam pula, dan dia memakai sweater berwarna abu-abu.

Aku seperti mengenal bau parfum ini. Kata Nina dalam hati.

Perlahan Nina mendongak, lalu terdiam beberapa detik dengan wajah masih tak percaya bahwa di depannya sudah berdiri orang yang dia tunggu.
"Woi, dasar. Dari dulu selalu ceroboh. Ayo bangun." Kata seseorang itu sambil mengulurkan tangannya seolah tak ingin Nina terus tersungkur di kakinya.
"Arman?" Tanya Nina lembut, setetes air keluar dari matanya, hatinya berdetak lebih kencang dari biasanya, semakin kencang.
"Iya, cengeng. Ayo bangun."
"Ih, siapa juga yang cengeng?" Kata Nina sok tegar. Padahal terlihat jelas setitik air itu masih tertahan di pipinya.
"Kamu itu cengeng. Nih coba lihat." Tangan Arman menyentuh pipi Nina dan menghapus setitik air yang tadinya tertahan.
Beberapa menit berlalu, dengan adu pandang yang tak kunjung henti antara Arman dan Nina. Hingga akhirnya mereka berdua saling mengalihkan perhatian.
Si Nina cantik banget hari ini… Nggak kayak dulu. Kok sekarang dia.. Ah, aku ini apa – apaan… Batin Arman, terkagum pada Nina

“Na, kamu tambah manis aja sekarang.” Puji Arman sambil menggaruk – garuk kepalanya.
“Wah, penghinaan ini namanya.” Kata Nina sedikit sinis.
“Penghinaan gimana toh, maksudnya?”
“Jadi maksudmu, dulu aku nggak manis gitu. Makasih banget loh ya.”
“Masih nggak berubah.”
“Ha? Maksudnya?”
“Udah, lupain.”
“Hm.. Yaudah.”
“Kamu kenapa? Marah? Hahah..” goda Arman.
“Nggak. Ngapain aku marah.”
“Eh, bentar – bentar. Kenapa kamu hari ini pake baju, sepatu dan semua yang kamu pakai warnanya merah muda? Ah, lagi jatuh cinta ya? Ciyeee, hahah..”
“Kamu dengar mitos dimana ha?” jawab Nina mengelak.
“Hahah, cuman nebak aja sih.”
“Oh.”
“Apa jangan – jangan…”
Perkataan Arman terhenti,
“Jangan – jangan apa ha?”
“Jangan – jangan gara – gara udah sangking kangennya sama aku, akhirnya kamu keburu – buru terus kejedot. Jadi gila kayak gini. Soalnya setahuku kamu itu alergi sama warna merah muda.”

Dia masih ingat aku tak suka warna merah muda. Dia benar – benar mengenalku, dia benar – benar masih ingat. Iya, aku sedang jatuh cinta. Oh, Tuhan. Dia yang aku cari, dia yang aku tunggu.

“Hm… Kamu itu percaya dirinya ketinggian tahu nggak?”
“Hahah… Iya, ketinggian deh. Aku ketinggian. Ya jelaslah, aku emang lebih tinggi dari kamu. Kamu kan emang nggak setinggi aku. Hahah” goda Arman dengan tertawa puas.
“Ih, kamu ini emang nyebelin yaa…”
“Yaudah, maafin mas ini ya dek. Hahah…”
 Keduanya tertawa, saling memandang. Tiga puluh menit pun berlalu. Arman celingak -celinguk, seperti mencari seseorang. Nina ingin sekali menanyakan apa benar Arman sedang menunggu seseorang. Tapi seseorang itu siapa.
“Man, pulang yuk.”
“Bentar, Na.”
“Kamu nunggu seseorang ya?”
"Hm,iya."

Ha, Arman menunggu seseorang? Siapa? Aku kira hanya aku yang ditunggunya. Tapi siapa orang itu, sampai Arman rela menunggu hingga selama ini di stasiun? Siapa orang itu?

Nina bertaya – tanya, mengira – ngira, siapa yang ditunggu Arman
"Man, kamu nunggu siapa? Ibu? Ayah?"
"Bukan."
"Ha? Lalu siapa, Man?"
"Ah, entar aja. Kamu juga nanti bakalan tahu."
Dan, 5 menit kemudian...
"Armaaan." Terdengar suara lembut dari sebelah utara.
Arman langsung berlari menuju ke arah seseorang itu dan membawanya kehadapan Nina.
"Na, ini Gendhis pacarku." Senyum Arman merekah.
Dia terlihat bahagia sekali, berbeda dengan Nina. Seketika tubuhnya gemetar, dia benar - benar tidak tahu harus bagaimana. Apakah dia harus senang? Apakah dia harus sedih? Semua perasaan itu campur aduk dalam hatinya. Wanita yang dikatakan Arman adalah pacarnya itu mengulurkan tangan seolah mengajak untuk berkenalan.
"Aku Gendhis."
"Hm... Aku Nina."
“Wah, ternyata aslinya Mbak Nina lebih manis dari yang diceritakan Mas Arman.”
Piye Na? Ayu ora pacarku iki? Haha” tanya Arman pada Nina.
“Cantik kok, Man. Kamu cocok sama dia.”
Kalau dalam hal menyembunyikan perasaan, Ninalah ahlinya, dia sangatlah berkompeten dalam hal ini. Kehebatannya sudah tidak bisa diragukan lagi. Bagaimana tidak dikatakan demikian? Dia mampu menutupi semua sakit yang sebenarnya dia rasakan. Bahkan Arman pun tak pernah tahu bahwa selama ini Nina telah menyimpan rasa cinta padanya.
"Leala, Na... Na... Kamu tahu nggak, dulu waktu SMA, aku itu pernah suka sama kamu. Aku hampir berpikir kalau aku cinta mati sama kamu. Ndah wong, kamu selalu ada di dekatku, Na. Hahah.. Tapi aku bingung harus ngapain. Kan kita sahabatan udah lama banget. Iya kan? Dan yang lebih konyol dan gilanya aku punya niatan buat nembak kamu pas aku udah balik ke sini. Hahah, aku ancen wes nggak waras, Na. Hahah…"
Seketika hati Nina terasa retak.
KRATAK!!!
Nina berharap tak ada yang mendengar suara retak dalam hatinya.
Dadanya sakit.
          Lemas.
          Tak berdaya.
Sesak. Sakitnya sudah tak tertahankan.
"Ndah, tapi aku takut waktu nembak kamu. Waduuuh, kamunya nanti malah marah, dan kita nggak ada hubungan lagi kayak dulu. Ya, kan kamu pasti mikirnya aneh – aneh. Lagian kita sahabatan kan, Na?  Dan akhirnya, aku malah ketemu sama peri cantik ini, ya si Gendhis ini. Hahah, dia baik cantik. Sudah komplit. Walaupun dia harus belajar sedikit bela diri sama kamu. Hahah"
Seraya Arman terus memujinya, Gendhis tersipu malu. Terlihat jelas, dia sangat bahagia saat diperlakukan seperti itu.

Armaaaaaan. Kenapa kamu nggak pernah bilanng kalau kamu suka aku? Kenapa kamu nggak pernah nyatain rasamu itu ke aku? Kenapa kamu nggak tanya apa aku punya rasa yang sama sepertimu apa nggak? Kenapa, Man? Kenapa? Padahal aku sudah nunggu kamu. Aku selalu berusaha untuk sabar. Aku selalu nunggu saat – saat dimana kamu akan menyatakan apa yang nggak bisa aku katakan. Sekarang, kamu sudah punya dia. Wanita cantik itu kini mendampingimu. Kenapa dia? Kenapa bukan aku?

          Nina sudah tak tahan menahan semua rasa sakit yang dia rasakan saat itu. Rasanya Nina ingin sekali menumpahkan seluruh air mata yang sudah memaksa untuk keluar. Dia ingin berada di kamarnya. Dia ingin mencurahkan semua kesediaannya saat itu juga.
          “Man, aku baru ingat kalau aku harus menyelesaikan tugas yang diberikan ibu padaku. Aku pamit ya.”
          “Lho, Na. Padahal aku mau ngajak kamu ke warung bakso langganan kita waktu SMA. Kan kamu paling seneng tuh, kalau aku ajak kesana?”

          Terlalu banyak kenangan kita disana, Man. Mana sanggup aku memutar memori itu, memutar semua memori indah bersamamu kala itu? Aku nggak sanggup.

          “Makasih, Man. Kalau makan kan bisa kapan  - kapan. Tapi kalau ini nggak bisa ditundah.” Kata Nina yang masih menundukan kepalanya.
          “Lho, Mbak Nina jangan gitulah. Ayo, sebentar saja.” Bujuk Gendhis.
          “Makasih, Gendhis. Yaudah, aku balik dulu ya. Bye.”
          Dengan langkah cepat Nina melangkahkan kakinya. Dia ingin segera meninggalkan tempat itu. Tapi ternyata Arman mencegahnya dengan menahan langkah Nina.
          “Na, kamu nggak enak badan ya? Aku sama Gendhis anter kamu pulang ya.”
          “Nggak, Man. M a k a s i h.” Kata Nina menegaskan.
          “Hm, yaudah. Hati – hati.”
          Nina tak menghiraukan, dia melangkah dan terus melangkah. Dia sama sekali tak menghiraukan keramaian di sekitarnya. Yang dia tahu, hari ini hatinya benar – benar terasa sakit. Sakit sekali. Bongkahan itu kini telah menjadi serpihan. Iya, hanya serpihan.
          Sesampainya di rumah, dia langsung menuju ke kamarnya. Dia kunci pintu kamarnya itu, dia tak ingin siapa pun melihatnya menangis. Tak boleh ada yang tahu bahwa saat ini hatinya telah retak. Tubuhnya lemas, dia benar – benar sudah tak berdaya. Ponsel milik Nina berkali – kali berbunyi, mengisyaratkan bahwa ada pesan yang masuk. Awalnya dia tak ingin melihat pesan dari siapakah itu. Tapi tiba – tiba, dia melihat ponselnya. Dan teryata pesan dari Arman.
          -Arman :v-
       Na, udah nyampe rumah? Are you ok?

-Arman :v-
       Na, kamu nggak enak badan ya?

-Arman :v-
       Na, kenapa sih? Ada masalah ya?
          Nina hanya membaca pesan di ponselnya, tanpa membalas pesan tersebut.

Man, kenapa kedatanganmu malah membawa luka untukku? Kenapa, Man? Memang tak seharusnya aku terlalu berharap padamu. Aku yang selalu berharap bisa menjadi temanmu. Teman hidupmu. Menjalani semuanya bersamamu. Tapi ternyata, semuanya berbanding terbalik. Kenyataan tak sesuai dengan harapanku. Kenyataan itu memang pahit.

Nina tak henti – hentinya menangis… Dia menangis sejadi – jadinya. Dia keluarkan semua air mata yang tadinya tertahan. Dia tumpahkan semuanya. Ingin rasanya berteriak untuk mengungkapkan kekecewaannya.
Sedangkan Arman masih bingung dengan keadaan Nina, berkali – kali dia mencoba mengirim pesan singkat pada Nina. Namun tak ada jawaban.

Na, kamu ada masalah apa sih? Kenapa nggak cerita, nggak kayak biasanya? Walaupun aku nggak pernah bilang kalau sebenarnya aku merindukanmu. Tapi percayalah, aku benar – benar merindukanmu. Tuhanlah saksinya, Tuhanlah yang tahu betapa merindunya aku, Na.

Keesokkan harinya… Arman mendatangi rumah Nina. Dia masih ingat benar jalan menuju rumah Nina, bahkan warna pagar, warna sofa, dan warna semua perabotan di rumah Nina masih dia ingat. Semua jelas dalam ingatannya.
Tok…Tok…Tok…
Arman mengetok pintu rumah Nina. Dia berharap, Ninalah yang membuka pintu. Namun harapan itu pupus. Dia melihat ibu Nina yang membukakan pintu untuknya.
“Lho, nak Arman. Sudah kembali dari Surabaya toh?” tanya ibu Nina ramah sekali.
“Iya, Bu. Kemarin saya sampai Yogya, Bu.”
“Ada apa, Nak?”
Ninanya ada, Bu?
“Oh, Nina. Ninanya nggak ada di rumah. Tapi kalau ada pesan pasti ibu sampaikan.”
“Kalau boleh tahu Nina dimana ya, Bu?
“Tadi dia pamit mau ke toko buku, begitu katanya.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya susul dia kesana saja. Saya pamit ya, Bu.”
          “Iya.”
          Mendengar bahwa Nina ada di toko buku. Arman langsung menuju toko buku yang biasa dia kunjungi bersama Nina dulu. Sesampainya disana ternyata benar, Nina terlihat sedang mencari – cari buku. Dia menbaca satu persatu judul buku dengan teliti. Arman langsung masuk ke toko buku tersebut. Dia berpura – pura tidak mngetahui keberadaan Nina. Berpura – pura menabrak Nina. Dengan pelan – pelan dia langkahkan kakinya. Mencoba menabrak Nina.
          Bruuuuuk...
          “Maaf, mbak. Maaf.”
          “Lho, Arman?”
          “Hai, Na?”
          “Kok kamu disini?”
          “Ya, nggak apa. Emang nggak boleh? Ini kan tempat umum.”
          “Iya sih. Yaudah, aku duluan ya.”
          “Eh, bentar dong. Makan yuk di warung bakso langganan kita?”
          “Nggak deh. Makasih.”
          “Plis, ayo ikut.”
          “Hm, yaudahlah.”
          “Yeeeee, woow.”
          Arman langsung menggandeng tangan Nina, keluar dari toko buku tersebut. Karena warung bakso langganan mereka, terletak di dekat toko buku tempat mereka berada sekarang. Akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan kaki. Arman terus memegang tangan Nina. Nina hanya tertunduk, langkah kakinya mengikuti langkah kaki Arman.
          “Ayo duduk disini, Tuan Putri.” Arman mempersilakan Nina untuk duduk.
          “Tuan Putri... Tuan Putri... Kamu udah lupa sama namaku?”
          “Ya ampun, mana mungkin aku lupa?”
          Sembari Nina masih duduk terdiam dengan memalingkan wajahnya, Arman memesan 2 porsi bakso.
          “Na, kenapa sih? Kamu nggak suka sama Gendhis ya? Atau lagi marah sama aku?”
          “Nggak kok. Gendhis cantik, baik. Dia nggak berkacamata tebal sepertiku. Kelihatannya dia juga feminin, nggak kayak aku. Pantesan aja, kamu tergila – gi....”
          Perkataan Nina terhenti ketika Arman menyela.
          “Hey, kamu ini ngomong apa? Bagiku, nggak ada yang sehebat kamu.”
          “Tapi kamu udah...”
          “Hash, udah – udah.

Arman... Tahukah kau bahwa aku tak tahu darimana perasaan cinta itu muncul? Tiba – tiba saja muncul tanpa aku minta, begitu saja menyelinap masuk. Aku selalu mencoba menahan semuanya, tapi apa daya? Aku benar – benar tak berdaya. Tahukah kau, rasa cemburu itu menjalar keseluruh tubuhku saat aku melihat kau memandangnya dengan penuh cinta. Di matamu kini ada dirinya. Begitu juga di hatimu, hanya ada namanya.
Disini, aku hanya dapat berharap suatu saat nanti kau akan tahu semua perasaan ini.
Perasaan yang yang tak mampu aku utarakan.
Perasaan yang tak terucap...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar